pages

January 13, 2012

Day 2: #15HariNgeblogFF

DAG DIG DUG!

Keringat mengucur deras di pelipisku. Kuberanikan diri menatap sosok di depan kami. Sosok yang menjadi perantara kehidupan kami di masa depan. Kulirik Vanya, sahabatku, yang sepertinya tak kalah tegang dariku. Sesekali, dia mengguman pelan mengusir rasa takut yang sedari tadi mengusik.

'Van, kamu ngga apa-apa kan?' dengan mata yang tetap memandang lurus, aku memberanikan diri bertanya keadaan Vanya, yang menurutku... sangat tidak dalam keadaan baik.

'Fey, aku takut,' jawab Vanya yang kembali menyeka keringat di dahinya.

Keadaan semakin mencekam. Baik Vanya maupun aku tak berani meneruskan percakapan kecil kami. Saking heningnya, aku bisa mendengar bunyi jarum jam yang berdetak di ruangan ini. Sialnya, ini baru sepuluh menit berjalan. Aku semakin kacau, aku ingin pulang.

Vanya menundukan kepala dan memejamkan matanya. Aku yakin, itu salah satu cara mengusir ketegangan bahkan mungkin ketakutan yang menghantuinya. Dengan susah, aku menelan ludah. Dalam keadaan seperti ini, menelan ludah seperti menelan buah apel bulat-bulat. Membutuhkan perjuangan. Berbeda dengan Vanya, aku memilih tetap memandang lurus ke depan, aku tidak ingin menerima resiko yang tak bisa kubayangkan sama sekali. Sejujurnya, mungkin aku lebih takut dari Vanya.

Ingatanku kembali melayang ke masa lalu. Saat aku pertama berkenalan dengan gadis ceria yang kini menjadi sahabatku. Wajahnya yang polos nan menggemaskan selalu memikat setiap orang. Dan aku? hanya seorang gadis cuek, datar, namun... manis. Ya, itulah setidaknya yang orang katakan mengenai diriku. Sedikit bertolak belakang, bukan? Namun entahlah, perbedaan itu menjadikan kami dua sahabat yang tak pernah lepas satu sama lain 


Dan kali ini, nyawa kami berada di ujung tombak. Ya, mungkin ini terlalu berlebihan. Tapi, memang itulah kenyataannya. Kami berada dalam keadaan yang sangat genting dan dibayangi selimut kelam yang tak berkesudahan. Intinya, kami sangat takut. Sangat. Takut.

Sosok di depan kami menatap kami satu persatu. Matanya yang setajam elang menusuk, mencengkram, dan menguliti mangsanya. Aku dan Vanya berpandangan. Masih dalam ketakutan yang semakin memuncak. Vanya menggenggam tanganku, menyakinkan bahwa semuanya baik-baik saja. Ya, aku harap kami bisa pulang dengan selamat.

'Hm... Ferisha, Vanya. Nama yang cukup bagus,' sosok itu kembali menatap kami. Bibirnya menyunggingkan senyum yang tidak simetris, sinis. Jantungku kembali berdetak lebih kencang seperti roket yang meluncur ke udara. Aku balik menggenggam tangan Vanya dengan lebih erat.

'Kalian....' dia kembali meneruskan perkataannya yang malah membuat kami semakin takut dan ingin lari-sekencang-kencangnya. Tapi, kami harus menghadapinya. Ya, harus!


'Kalian....'


Dag, dig, dug!

'Selamat! kalian berdua berhak mendapatkan beasiswa ke Paris selama bla-bla-bla....'

Dan semua menjadi gelap. Aku dan Vanya tidak sadarkan diri.

No comments:

Post a Comment

buat yang komen, sampe ketemu di surga yak!