Halo,
Siapa Namamu?
Sudah tiga
kali enam puluh menit kulihat kamu terdiam bersama beberapa cangkir kopi pahit
di depanmu. Tak lama, cangkir kelima datang menghampirimu. Masih sama, kopi
pahit berwarna hitam. Kelam. Muram. Seperti wajahmu hari ini. Sesekali, kamu
menggelengkan kepalamu dan kembali menenggak kopi pahit itu. Apa kamu tahu? Sepertinya
kamu semakin tampan.
Tanpa
kusadari, sudah tiga kali enam puluh menit pula pandanganku tak lepas darimu. Aku
hanya bisa menghela nafas dalam-dalam, tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku
terdiam memeluk lututku di atas kursi halte yang sedari tadi setia memberikanku
teduh di cuaca yang tidak sejuk ini. Lalu lalang kendaraan seolah tenggelam
dalam pusaran. Dan yang tersisa, hanya kamu… dan aku.
Di seberang
jalan, sebuah warung kopi yang tak asing bagimu, juga bagiku. Sejak enam hari
lalu atau mungkin lebih, kamu selalu menyempatkan untuk meminum secangkir kopi
di sana, dengan binar mata bahagia, hangat. Kali ini, kamu masih membeku. Tak ada
sedikitpun senyum, juga tawa, atau sekedar cakap bersama si empunya warung, yang biasa kulihat setiap pagi. Kecuali
pagi ini. Dan sepertinya, aku merindukan semua itu.
Apa?
rindu? Aku mengutuk diriku sendiri. Ya, kenapa harus aku? kenapa harus kamu? Kenapa?
Apa yang harus kulakukan?
Lagi-lagi,
aku hanya bisa menghela nafas dalam. Seminggu sudah aku terdiam, hanya bisa
menatapmu, dari seberang jalan, dari halte ini. Dan hari ini tepat hari
ke-tujuh aku di sini. masih menatapmu. Tapi dengan rasa yang… berbeda.
Jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. Namun, aku harus memberanikan
diriku. Ya, harus!
Kulangkahkan
kakiku meski ragu. Ah, aku tidak mau! Tepatnya, aku tidak bisa melakukannya. Aku….
Tapi akhirnya,
kumantapkan langkahku menuju warung kopi itu. Kukepalkan tanganku, mengusir
gelisah yang tak berkesudahan. Keringat mengucur dipelipisku. Dan… tinggal
beberapa langkah lagi, aku sampai, menemuimu.
‘Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit’
Bunyi klakson
memecah kekacauan dalam pikiranku. Aku benar-benar tidak sanggup. Namun, sebuah
tangan kekar menarikku. Kamu!
‘Kamu,
tidak apa-apa?' tanyamu
‘A-aku…
yah, terima kasih’ jawabku.
Aku sampai
lupa dengan tujuanku. Aku semakin bingung, dan aku benar-benar bisa gila.
Aku
terduduk di trotoar, tepat di depan warung kopi itu. Dan kamu? di sampingku. Menatapku,
dengan binar bahagia yang sangat aku rindukan!
Dia menghela
nafas, dalam, kemudian tersenyum.
‘Gadis
halte… hmm… halo, siapa namamu?’
Aku menatap
tidak percaya. Dengan gontai, pisau yang sudah ku siapkan seminggu ini terjatuh
tepat di depannya. Dia hanya tersenyum, hangat. Sepertinya, aku memang
benar-benar tidak bisa melakukannya.
No comments:
Post a Comment
buat yang komen, sampe ketemu di surga yak!